Cinta tanpa pamrih. Banyak yang bilang, cinta seperti itu ada pada cinta
ibu kepada anaknya. Benarkah? Apakah memang sudah tepat dan sesuai
porsi maupun peletakannya?
Sebagai ibu dari tiga orang anak, saya akan memberikan pengakuan.
Ya, saya amat sangat mencintai mereka. Saya siap mempertaruhkan nyawa,
setiap kali melahirkan satu demi satu anak saya. Bukankah itu sudah
cukup menjadi bukti bahwa cinta saya tanpa pamrih?
Siang penuh lelah dan malam tanpa jengah, saya jaga dan rawat mereka,
dari bayi merah mungil sampai menjelma menjadi bocah. Menyusui setiap
saat mereka menginginkannya, mengganti popoknya entah yang kesekian
kalinya dalam sehari, menggendong dan meninabobokannya di setiap malam
yang panjang, dan betapa banyak yang tak kan bisa disebutkan satu
persatu apa yang telah dilakukan oleh seorang ibu. Bukankah semua itu
sudah cukup menjadi bukti akan cinta saya yang tanpa pamrih?
Hingga, lalu saya sadari, bahwa mungkin saya salah selama ini.
Tak ada raut wajah kecewa, sebal, apalagi marah, ketika mereka berulah,
dulu. Ya, itu dulu. Kala mereka masih 100% tergantung kepada saya,
ibunya. Kala mereka murni 100% di bawah kontrol saya. Kala mereka belum
mempunyai kemandirian untuk menyuarakan keinginan mereka dengan kuat.
Cinta tanpa pamrih, masihkah itu menjadi jargon, ketika anak sudah
pandai memilih dan saya, ibunya, malah berdalih? Ah, banyak peristiwa
berkelebat dalam putaran memori saya. Terbayang Syifa dan juga Farah.
Raut muka kecewa mereka, sebal, marah, tapi juga takut. Tangisan keras
yang membuat emosi makin tersulut, atau terkadang hanya sesenggukan
halus di sela isak tangisnya. Aaah... :( Dan berada di pihak manakah
saya? Sebagai kawan ataukah lawan? Sebagai motivator ataukah komentator,
bahkan kritikus? Sebagai ibu ataukah bos?
Ternyata tak mudah mempertahankan cinta tanpa pamrih itu, apalagi ketika
saya mulai berharap dan meminta balasan, entah apa pun sebutannya,
kepada mereka, anak-anak saya. Sudah umum menjadi do'a semua orang tua,
ingin agar anaknya menjadi anak yang sholeh/sholehah, berguna bagi nusa,
bangsa, agama, dan bermanfaat bagi orang lain. Adanya nilai-nilai umum
di masyarakat yang seolah menuntut untuk dipenuhi, tanpa sadar telah
meracuni pikiran saya sebagai ibu. Sebut saja, anak harus pandai di
sekolah, anak harus rajin, mandiri, bisa membaca menulis di usia dini,
tidak cengeng, pemberani alias bukan penakut, anak penurut, dan
lain-lain. Begitu banyak label yang seolah dipaksakan harus dipenuhi
oleh anak-anak kita. Dan ketika pencapaian anak tidak sesuai harapan,
apa yang terjadi? Kecewa, marah, sebal, uring-uringan, atau
ngomel-ngomelkah kita? Sepertinya, meski saya berusaha untuk tidak
melakukannya, saya sudah pernah mengekspresikan semuanya itu, di depan
maupun di belakang anak-anak saya.
Seringkali saya melupakan satu hal penting, yaitu proses. Proses amat
sangat panjang dan tidak instan dalam mendidik anak. Proses yang tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Proses yang berpeluh dan tak boleh
jenuh. Dan faktor utama pendukungnya adalah keteladanan. Yup,
keteladanan dari orang tua bagi anak-anaknya. Apa yang kita inginkan
bagi mereka, tentu saja yang terbaik bagi mereka (ingat, menurut kita
ya, jadi tidak semua pilihan kita adalah baik bagi mereka). Apakah kita
sudah mencontohkannya?
Seharusnya anak diajak dan dibiasakan, bukannya hanya menyuruh anak,
untuk sholat misalnya. Seharusnya diajak muroja'ah rutin bersama-sama,
tidak hanya diminta untuk hafal sekian surah, dan hanya menagih saja.
Akan menjadi konflik, ketika orang tua melewatkan proses.
Atau...jangan-jangan orang tua hanya bisa menuntut anak-anaknya tanpa
mereka melakukan hal yang sama? Kalau seperti itu, berarti kita sudah
menjadi orang tua yg melakukan kecurangan dan juga menjadi diktator. Dan
kemanakah cinta tanpa pamrih itu?
Betapa saya masih saja mudah lupa, bahwa anak-anak adalah bukan hak
milik saya. Mereka adalah titipan Tuhan. Mereka memiliki dirinya
sendiri, jalan hidup dan takdirnya sendiri. Sebagai orang tua, kita
tidak bisa selamanya campur tangan dan memaksakan semua hal harus sesuai
dengan keinginan kita. Tugas orang tua hanyalah merawat, mendidik, dan
yang terpenting, memberi teladan yang baik. Semua itu sebagai ikhtiar
orang tua dalam proses perkembangan anak agar mereka bisa survive menuju
gerbang kemandirian anti galau. Menjadi generasi yang tangguh dengan
modal iman dan takwa serta kecerdasan emosional yang stabil.
reblog from http://tikasemangat.blogspot.com