Selasa, 27 November 2012

Membuktikan Cinta Bunda

Memiliki tiga orang anak yang hanya terpaut beberapa tahun, seringkali membuat emosi mudah tersulut. Seringkali terjadi terutama di saat-saat saya merasa capek, entah capek fisik atau capek hati. Ketika saya ingin anak-anak menuruti perintah-perintah saya, mereka malah tidak menghiraukannya. Syifa, 7 tahun, sudah bukan balita lagi. Dia sudah memiliki keinginan yang kuat terhadap sesuatu, pun sudah bisa menolak sesuatu yang tidak diinginkannya. Begitu juga Farah, 5 tahun, yang wataknya lebih keras daripada Syifa.

Ketika beberapa tugas maupun perintah seperti harus bangun lebih pagi, makan lebih cepat, merapikan buku-buku bacaannya, dan lain-lain, tidak segera mereka lakukan ketika saya mengingatkannya, saya mulai melotot. Kemudian, ketika Syifa maupun Farah malah makin bergerak dengan malas-malasan, memasang muka males dan ogah, saya mulai mengoceh, mendampratnya. Terkaget-kagetlah saya ketika mendapati sorot mata Syifa atau Farah yang tampak terbersit kebencian dan kemarahan itu. Apakah saya membenci Syifa dan Farah? Tentu saja tidak. Ya, telah terjadi kesalahpahaman antara ibu dan anak.

Saya mencintai Syifa dan Farah, hal yang selalu saya katakan saat mencium atau memeluk mereka, " I love u Syifa, I love u Farah." Akan tetapi, sayangnya bisa jadi saya selama ini salah dalam mengkomunikasikan rasa sayang saya. Gara-gara sikap saya yang emosional dan perkataan saya yang kasar, bahkan cubitan dan pukulan yang bisa jadi saya lakukan, anak tak menangkap adanya suasana kasih sayang.

Rasulullah mengibaratkan anak seperti kertas putih bersih, tergantung pada orang tuanya, mau ditulis dengan tinta warna merah, hijau, atau kuning. Orang tua biasanya terlalu cepat memvonis nakal, malas, bandel atau bahkan durhaka terhadap anak-anaknya sendiri, padahal merekalah yang paling dominan membentuk karekter dan kepribadiannya. Kalaupun itu benar, bukankah para orang tua yang lebih bertanggung jawab atas sifat-sifat buruk itu?

Mengapa Harus Lembut?
Seringkali orang tua menganggap bahwa untuk meluruskan sikap anak yang kurang baik harus ditempuh cara-cara keras, seperti menghukum, dan berkata-kata keras dan kasar. Cara seperti itu tak mungkin berhasil, malah sebaliknya dapat menimbulkan dendam pada diri anak. Dalam Al-Qur'an Allah SWT telah mengingatkan secara khusus kepada Muhammad saw agar meninggalkan cara-cara kasar, sebab kekasaran bukan mendekatkan ummat kepadnya, tapi justru akan menjauhkannya. Allah SWT berfirman :

Maka karena rahmat dari Allah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka, sekiranya engkau berlaku keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan dari sekitarmu. Maka maafkanlah mereka dan mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam sesuatu urusan (QS. Ali Imran:159)

Ayat di atas juga berlaku bagi kita orang tua dalam mendidik anak-anak. Jika ingin anak-anak lebih mendekat, maka jalan yang harus ditempuh adalah mendidik dengan lemah lembut, tidak keras dan kasar, meski dalam keadaan marah sekalipun.

Menawarkan Kebaikan
"Anak biasanya memberikan tanggapan (reaksi) yang lebih baik bila diberi senyum dan diajak bicara dengan sikap hangat dan penuh kasih sayang." tulis Dr. Bursteln dalam buku Dr. Bursteln's Book on Children. Orang tua harus tetap menunjukkan kasih sayang walau di saat anak sedang melakukan kesalahan. Justru saat itulah waktu yang tepat untuk menunjukkan rasa cinta kasih. Sudah menjadi sifat dasar manusia, bahwa ia akan sangat menghargai orang lain yang menawarkan kebaikan hati kepadanya. Hal ini menciptakan perasaan wajib untuk membalas kebaikan orang tersebut.

Pahami Alasan Anak
Seringkali orang tua menginginkan anak bisa patuh seketika. Salah sedikit saja, anak bisa diomel-omeli panjang lebar. Ya, saya pun pernah melakukannya. Padahal kesalahan bagi anak-anak itu wajar, karena mereka masih dalam proses belajar. Hal yang harus diketahui adalah bahwa semua anak mempunyai harga diri sebagaimana orang dewasa. Mereka tidak ingin harga dirinya diinjak-injak, walaupun oleh orang tuanya sendiri.Mereka tetap ingin menjaga harga dirinya, walaupun harus dengan cara melawan. Inilah hakekat manusia, tidak berlaku hanya pada orang dewasa saja lho.

Bagaimana agar kita memahami anak-anak? Sebaiknya kita harus melihat dari sudut pandang mereka, bukan dari sudut pandang kita orang dewasa. Dunia anak-anak dan orang dewasa jelas berbeda, salah dan benar mestinya diukur dari dunia mereka dan disesuaikan dengan tingkat perkembangan kejiwaannya.

Alasan dibalik perbuatan Syifa dan Farah, pasti ada menurut versi mereka. Tak usah menjelek-jelekkan anak dengan tuduhan malas, nakal, bandel, tak usah pula mengungkit-ungkit kesalahan mereka yang sebenarnya mereka sendiripun sudah tahu, bicaralah dengan lembut dan nada yang tenang, sambil tetap memberi senyum.


Menahan Emosi?
Kekasaran kata-kata dan kebiasaan marah, bisa terjadi karena orang tua tidak mampu menahan emosi. Padahal ketika berada dalam kondisi jiwa yang stabil, tidak terlalu sulit untuk bisa bersabar dan berlemah lembut. Sayangnya, rutinitas sebagai ibu rumah tangga, ataupun ibu bekerja bisa memperlemah kondisi kejiwaan ibu, sehingga menjadi emosional dan cepat marah. Konflik antara suami istri juga bisa menambah keadaan menjadi lebih panas. Banyak kaum ibu yang tak memiliki penyaluran yang baik untuk meredam emosinya, sehingga menjadikan anak sebagai sasaran pelampiasan emosi. Ada pula ayah ibu yang berperilaku kasar karena memang sudah watak dan karakter dasar yang membentuk kebiasaan hidupnya.

Karakter yang keras, kasar, dan emosional tersebut bisa jadi akan merusak pola pendidikan anak. Itu sebabnya, kita sebagai orang tua seharusnyalah sering-sering instropeksi diri dan berusaha merubah karakter yang merugikan tadi, sebelum menularkannya kepada anak-anak.


2 komentar: