Rabu, 26 September 2012

Tiga Tipe Anak

Syifa, anak pertama saya memang termasuk anak yang mandiri sejak kecil. Mungkin karena di usianya yang 2 tahun, dia sudah mempunyai seorang adik. Ketika berumur 4 tahun, Syifa masuk Taman Kanak-Kanak yang letaknya lumayan jauh dari rumah. Hari pertama dia sekolah, saya hanya mengantarkannya saja, menitipkannya pada Ibu Gurunya, dan lalu meneruskan perjalanan ke kantor. Ya, Syifa tidak ditunggui di sekolah, sedangkan banyak di antara teman-temannya yang menangis atau merengek minta ditunggui oleh ibunya.

Lain Syifa, lain pula Farah, anak kedua saya. Kalau Farah, hari pertama dia bersekolah masih harus ditunggui. Lama kelamaan baru bisa ditinggal, jadi setiap hari akhirnya hanya antar jemput saja. Memang tidak langsung prosesnya, saya juga selalu menyemangatinya, meyakinkannya bahwa Farah anak pemberani dan mandiri. Ada juga anak yang benar-benar tidak mau jauh dari orang tuanya, sebut saja Fira, sehingga di sekolah dia maunya ditunggui, bahkan sedikit-sedikit dia mengintip keluar kelas untuk mengecek keberadaan ibunya :).

Perilaku Syifa, Farah, dan Fira sudah cukup mewakili gambaran karakter anak pada umumnya. Syifa termasuk anak yang mudah beradaptasi dengan lingkungan dan suka mencoba sesuatu yang baru. Anak-anak seperti ini biasanya disebut sebagai anak yang "mudah". Sedangkan Farah tidak seberani Syifa, untuk beradaptasi dia membutuhkan  waktu. Model yang seperti ini disebut anak yang "perlu waktu pemanasan". Sebaliknya yang masih sangat takut seperti Fira diistilahkan sebagai anak yang "sulit".

Anak yang Mudah
Anak-anak golongan ini biasanya penampilannya penuh keberanian dan terbuka. Tampil dan berbicara apa adanya. Mudah bergaul, lincah, serta banyak bicara. Bahkan beberapa dari anak-anak ini tergolong sangat aktif. Tetapi ada kelemahan pula pada anak-anak tipe ini. Karena saking mudahnya beradaptasi, jadi terlalu sering berpindah tangan pengasuh. Ini buruk akibatnya bagi dirinya sendiri. Seminggu tinggal bersama nenek, baru pulang sebentar dijemput tantenya untuk menginap di sana selama beberapa hari juga.

Setiap orang tak pernah punya pola asuh yang sama. Batasan, larangan, cara memerintah, cara membujuk hingga nilai-nilai yang disampaikan tidak akan pernah sama. Semua itu hanya akan membuat anak bingung hingga akhirnya mereka jadi sulit diberi pengertian. Selain itu. karena sifat anak-anak ini yang suka mencoba hal baru, orang tua harus waspada terhadap barang-barang yang berbahaya.

Anak yang Perlu Pemanasan
Tidak terlalu berani, tidak pula penakut, yang jelas ia perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Setelah beberapa waktu tersebut, mereka akan menjadi percaya diri dan juga bisa begitu berani seperti teman-temannya yang "mudah". Dengan orang yang belum dikenal mereka hanya diam walaupun bukan berarti penakut. Tetapi setelah kenal mereka bisa saja segera akrab. Anak-anak ini perlu dorongan semangat dan motivasi dari orang tuanya.

Tindakan orang tua yang lantas memaksa anaknya untuk berani dan "mudah" bukanlah pemecahan masalah yang baik.Biasanya orang tua mengomel, menyindir, bahkan mengancam, ketika anaknya masih terlihat ragu-ragu atau takut.

Anak yang Sulit
Anak ini sering membuat gemas, jengkel, sekaligus malu orang tuanya. Bayangkan, kemanapun orang tua pergi, ia membuntut, memegangi baju ibunya terus-terusan. Bila ada orang menyapa, ia menyembunyikan wajahnya di sela-sela baju ibunya. Padahal di rumah dia adalah anak yang lucu, tingkahnya jenaka, cerewet banyak bercerita. Tapi ketika tiba di sekolah, ia berubah menjadi anak penakut, pasif, dan pemalu.

Satu-satunya hal yang bisa dilakukan orang tua terhadap anak seperti ini adalah bersabar menunggu waktu. Hanya waktu yang bisa menyelesaikannya. Tidak ada gunanya capek-capek mengomel, menyindir, ataupun ngotot memaksanya menjadi berani. Percuma, bikin sakit hati saja. Bahkan omelan, ejekan, dan hinaan, dalam banyak kasus hanya akan menghilangkan rasa percaya diri si anak.

Penyebab utama perilaku yang "sulit" ini bisa karena faktor kurangnya keberanian, kurangnya latihan bersosialisasi dengan lingkungan, bisa juga faktor keturunan. Cara mengurangi rasa kekhawatiran yang berlebihan terhadap lingkungan baru adalah dengan pembiasaan, pemberian pengertian, dan motivasi di samping meningkatkan keberanian secara umum.

Meski sebetulnya ada juga kelebihan dari anak yang "sulit" ini. Mereka adalah anak yang kerasan berada di rumah, selalu dekat dengan ibunya sehingga hubungan batin dengan ibu biasanya amat erat. Orang tua pun akan lebih mudah mengarahkannya. Selain itu, anak tersebut juga akan tumbuh menjadi lebih sabar dan telaten, tidak terlalu lincah. Tetapi perkembangan keberaniannya bisa terhambat bila tidak segera ditangani perilakunya yang ketakutan secara berlebihan terhadap lingkungan baru.

Disadur dari : Mendidik Dengan Cinta, Irawati Istadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar